HIDUP ITU INDAH JIKA BERMANFAAT UNTUK ORANG LAIN ANALGETIK, ANTIPIRETIK, NSAID_diana

Pages

ANALGETIK, ANTIPIRETIK, NSAID


Obat analgetik, antipiretik, serta Obat Anti Inflamasi non Steroid (OAINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototipe obat golongan ini adalah aspirin. Karena itu, banyak golongan dalam obat ini sering disebut obat mirip aspirin (Aspirin-like drugs).


Klasifikasi kimiawi OAINS sebenarnya tidak banyak manfaat kimianya karena ada OAINS dari subgolongan yang sama memiliki sifat yang berbeda. Sebaliknya ada OAINS yang berbeda subgolongan tapi memiliki sifat yang serupa. Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).
Mekanisme kerja dan yang berhubungan dengan system biosintesis. Prostaglandin ini mulai diperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik Prostaglandin. Penelitian lanjutan membuktikan bahwa Prostaglandin akan dilepaskan bilamana sel mengalami kerusakan. Walaupun secara invitro OAINS diketahui menghambat obat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgetic, antipiretik dan anti inflamasinya belum jelas. Selain itu, OAINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi.
Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada aspirin sendiri menghambat dengan mengasetiliasi gugus aktifserin dan enzim ini.Trombosit sangat rentan terhadap penghambatan ini karena selain tidak mampu mengadakan regenerasi enzim sehingga dosis tunggal aspirin 40 mg sehari telah cukup untuk menghambat siklooksigenase trombosit manusia selama masa hidup trombosit yaitu 8-11 hari.
Mekanisme rasa nyeri yaitu perangsangan nyeri baik mekanik, kimiawi, panas maupun listrik akan menimbulkan kerusakan pada jaringan sel sehingga sel-sel tersebut melepaskan suatu zat yang disebut mediator nyeri yang akan merangsang reseptor nyeri. Mediator nyeri ini juga disebut zat autanoid yaitu, histamine, serotonin, plasmakinin, bradikinin (asam lemak) prostaglandin dan ion kalium. Mekanisme kerja penghambatan rasa nyeri ada tiga yaitu:
1. Merintangi pembentukkan rangsangan dalam reseptor rasa nyeri, seperti pada anastesi local.
2. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf sensoris, seperti pada anastesi local.
3. Blokade rasa nyeri pada system saraf pusat seperti pada analgetik sentral (narkotika) dan anastesi umum.



ANALGETIK OPIOID
Analgetik atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa meghalangi kesadaran.
Penggunaan umum
Penatalaksanaan nyeri sedang sampai berat. Beberapa agens digunakan sebagai adjuvant anesthesia umum (alfentanil, fentanil dan sefuntanil).
Kerja Obat dan Informasi Umum
Opioid berikatan dengan reseptor opiate pada SSP, tempat opioid bekerja sebagai agonis peptide opioid yang terjadi secara endogenus (eukefalin dan endorphin). Akibatnya adalah perubahan persepsi dan respons terhadap nyeri.
Kontra indikasi
Hipersensitivitas terhadap masing-masing agens.
Perhatian
Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan nyeri abdomen yang tidak terdiagnosis, trauma atau patologi kepala, penyakit hati, atau riwayat ketergantungan opioid. Gunakan dengan dosis awal yang kecil pada lansia dan orang-orang yang menderita penyakit pernapasan. Penggunaan kronik dapat mengakibatkan toleransi dan memerlukan dosis yang lebih besar untuk menghilangkan nyeri. Dapat terjadi ketergantungan psikologis dan fisiologis.
Interaksi
Meningkatkan sifat depresan  SSP dari obat-abat lain, termasuk alcohol, antihistamin, antidepresan, sedatif/hipnotik, fenotiazin, dan inhibitor MAO. Penggunaan analgetic antagonis opioid parsial (buprenorfin, butorfanol, dezosin, nalbufin, dan pentazosin) dapat mencetuskan gejala putus obat opioid pada pasien-pasien yang mengalami ketergantungan fisiologis. Penggunaan bersama inhibitor MAO atau prokarbozin dapat menghasilkan reaksi paradoksal yang parah (khususnya dengan meperidin). Nalbufin atau pentazosin dapat menurunkan efek analgesic opioid yang diberikan secara bersamaan.
Implikasi Keperawatan
Pengkajian
·         Kaji jenis, lokasi, dan intensitas nyeri sebelum dan pada puncak reaksi setelah pemberian.
·         Kaji tekanan darah, nadi dan pernapasan sebelum dan secara periodic selama pemberian.
·         Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan ketergantungan psikologis dan fisiologis serta toleransi. Hal tersebut jangan sampai menyebabkan pasien tidak bisa mendapatkan analgesia yang adekuat. Kebanyakan pasien-pasien yang mendapat analgetik opioid untuk alasan medis tidak mengalami ketergantungan psikologis. Peningkatan dosis yang lebih tinggi secara progresif mungkin diperlukan untuk menghilangkan nyeri pada terapi jangka panjang.
·         Kaji fungsi usus secara rutin. Peningkatan asupan cairan dan serat, pelunak feses , dan laksatif dapat meminimalkan efek konstipasi.
·         Pantau perbandingan asupan dan haluaran. Jika terjadi perbedaan yang bermakna, kaji adanya retensi urin dan beritahu dokter.
·         Toksisitas dan overdosis: bila terjadi overdosis, malokson (Narcan) adalah antidotumnya. Pantau pasien dengan ketat, dosis mungkin perlu diulang atau mungkin perlu diberikan melalui infuse.
Diagnosis Keperawatan Potensial
·         Nyeri (indikasi)
·         Gangguan persepsi sensorik, penglihatan, pendengaran (efek samping).
·         Resiko tinggi cedera (efek samping).
·         Kurang pengetahuan sehubungan dengan program pengobatan (penyuluhan pasien / keluarga).
Implementasi
·         Jelaskan nilai terapuetik obat sebelum pemberian untuk meningkatkan efek analgesiknya.
·         Pemberian dosis secara teratur lebih efektif daripada pemberian yang dilakukan bila perlu. Analgesia akan lebih efektif  bila diberikan sebelum nyeri menjadi berat.
·         Pemberian bersama analgetik nonopioid akan member efek analgetic tambahan dan sehingga memungkinkan pemberian dengan dosis yang lebih rendah.
·         Pengobatan harus dihentikan secara bertahan setelah pemberian jangka panjang untuk mencegah gejala putus obat.
Penyuluhan Pasien / Keluarga
·         Instruksikan pasien tentang bagaimana dan kapan harus meminta obat pereda nyeri.
·         Obat ini dapat mengakibatkan kantuk atau pusing. Peringatkan pasien untuk meminta bantuan ketika berambulasi atau merokok dan tidak mengemudi kendaraan atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang memerlukan kewaspadaan sampai respons terhadap obat diketahui.
·         Beri tahu pasien untuk melakukan perubahan posisi secara perlahan untuk meminimalkan hipotensi ortostatik.
·         Peringatkan pasien untuk menghindari penggunaan alcohol atau depresan SSP lainnya bersama obat ini.
·         Anjurkan pasien untuk berpindak ke posisi miring, batuk dan menarik nafas dalam setiap 2 jam untuk mencegah atelektasis.
Evaluasi
Efektivitas terapi ditunjukan dengan : berkurangnya keparahan nyeri tanpa perubahan yang bermakna pada tingkat kesadaran, status pernapasan, atau tekanan darah.
Analgetik Opioid yang terdapat dalam Pedoman Obat untuk Perawat:
Agonis Opioid                                                                        Opioid Agonis/antagonis
  1. Alfentamil                                                                   1. Buprenorfin
  2. Kodein                                                                       2. Butorfanol
  3. Fentanil                                                                       3. Dezosin
  4. Hidrokodon                                                                4. Nalbufin
  5. Hidromorfon                                                               5. Pentazosin
  6. Levorfanol
  7. Meperidin
  8. Metadon
  9. Morfin
  10. Sufentanil

ANTIPRETIK
Antipiretik adalah zat-zat yang dapat mengurangi suhu tubuh.
Penggunaan Umum
Digunakan untuk menurunkan demam dengan berbagai penyebab (infeksi, inflamasi, dan neoplasma).
Kerja Obat dan Informasi Umum
Antipiretik menurunkan demam dengan mempengaruhi termogulator pada SSP dan dengan menghambat kerja prostaglandin secara perifer.
Kontraindikasi
Hindari pemakaian aspirin atau ibuprofen pada pasien-pasien dengan gangguan perdarahan (resiko perdarahan lebih rendah dengan salisilat lainnya). Aspirin dan salisilat lain harus dihindari pada anak-anak dan remaja.
Perhatian
Gunakan aspirin atau ibuprofen secara hati-hati pada pasien-pasien dengan penyakit ulkus. Hindari pemakaian asetominofen kronik dosis besar.
Interaksi
Aspirin dosis besar dapat menggeser obat lain yang berikatan kuat dengan protein. Iritasi GI tambahan dengan ibuprofen, aspirin, dan agens antiinflamasi nonsteroid atau glukokortikoid. Aspirin atau ibuprofen dapat meningkatkan resiko perdarahan bila digunakan bersama obat lain yang mempengaruhi hemostasis (antikoagulan, trombolitik, antineoplastik, dan beberapa antiinfeksi).
Implikasi Keperawatan
Pengkajian
Kaji demam, catat adanya gejala yang menyertainya (diaphoresis, takikardia, dan malaise).
Diagnosis Keperawatan Potensial
·         Resiko tinggi gangguan suhu tubuh (indikasi).
·         Kurang pengetahuan sehubungan dengan program pengobatan (penyuluhan pasien/keluarga).
Implementasi
·         Pemberian bersama makanan atau antacid dapat meminimalkan iritasi GI (aspirin dan ibuprofen).
·         Tersedia dalam bentuk dosis oral dan rectal, dalam kombinasi dengan obat lain.
Penyuluhan Pasien/Keluarga
·         Anjurkan pasien untuk berkonsultasi dengan dokter bila demam tidak berkurang dengan dosis rutin atau bila lebih dari 39,5oC atau berlangsung lebih dari 3 hari.
·         Center for Disease Control memperingatkan pemberian aspirin pada anak-anak atau remaja yang menderita varisela (cacar air), atau penyakit virus serupa influenza karena kemungkinan berhubungan dengan syndrome Reye.
Evaluasi
Efektivitas terapi ditunjukan dengan: pengurangan demam.
Antipiretik yang terdapat dalam Pedoman Obat untuk Perawat
1.      1. Asetaminofen
2.      2. Aspirin
3.      3. Kolin dan magnesium salisilat
4.      4. Kolin salisilat
5.      5. Ibuprofen
6.      6. Salsalat

ANALGETIK NONOPIOID / AGENS ANTIINFLAMASI NONSTEROID
Anti-inflamasi adalah obat atau zat-zat yang dapat mengobati peradangan atau pembengkakan.
Penggunaan Umum
Kebanyakan agens dalam kelompok ini digunakan untuk mengendalikan nyeri ringan sampai sedang, demam dan berbagai penyakit inflamasi, seperti arthritis rheumatoid dan osteoarthritis. Asetaminofen memiliki sifat analgetik dan antipiretik tetapi tidak efektif sebagai agens antiinlamasi. Fenazopiridin hanya digunakan sebagai analgetik saluran kemih. Metotrimeprazin adalah fenotiazin dengan sifat analgetik, namun karena hipotensi berlebihan yang ditimbulkannya mengakibatkan agens tidak digunakan secara rutin.
Kerja Obat dan Informasi Umum
Kelompok terbesar analgetik nonopioid adalah agens antiinflamasi nonsteroid (NSAIA,NSAID). NSAIA dan salisilat memiliki sifat analgetik, antipiretik dan antiinflamasi. Mekanisme analgetik mungkin disebabkan oleh inhibisi sintesis prostaglandin. Kerja antipiretik disebabkan oleh inhibisi sintesis prostaglandin dalam SSP dan vasodilatasi. Inhibisi sintesis prostaglandin juga menjelaskan kemampuannya menekan inflamasi. Asetaminofen memiliki sifat antipiretik dan analgetik tetapi tidak mempunyai kemampuan antiinflamasi.
Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap aspirin berarti kontraindikasi untuk seluruh kelas NSAIA. Hanya asetaminofen yang aman untuk penggunaan yang tidak sering pada kehamilan dan laktasi.
Perhatian
Gunakan NSAIA secara hati-hati pada pasien- pasien dengan riwayat gangguan perdarahan gastrointestinal (efeknya lebih ringan pada salisilat nonaspirin), dan penyakit hati, ginjal dan kardiovaskuler berat. Keamanan penggunaan NSAIA pada kehamilan belum ditetapkan.
Interaksi
NSAIA memperpanjang masa perdarahan dan memperkuat efek antikoagulan agens trombolitik, plikamisin, beberapa sefalosporin, dan asam valproat. Penggunaan kronik NSAIA dengan aspirin dapat mengakibatkan peningkatan efek samping GI dan menurunkan efektivitasnya. NSAIA dapat menurunkan respon terhadap terapi diuretic atau antihipertensi. Penggunaan kronik asetaminofen bersama NSAIA dapat meningkatkan resiko reaksi ginjal yang merugikan. Metotrimeprazin akan memperberat hipotensi bila digunakan bersama obat lain yang menurunkan tekanan darah.
Implikasi Keperawatan
Pengkajian
·         Informasi umum : pasien yang menderita asma, alergi akibat aspirin, dan polips hidung, berisiko tinggi mengalami reaksi hipersensitivitas. Kaji adanya rhinitis, asma dan urtikaria.
·         Arthritis : kaji nyeri dan rentang gerak sebelum dan 1-2 jam setelah pemberian.
·         Nyeri: kaji nyeri (catat jenis, lokasi dan intensitasnya) sebelum dan 1-2 jam setelah pemberian.
·         Demam: pantau suhu, catat tanda-tanda yang berhubungan dengan demam (diaphoresis, takikardia, dan malaise).
·         Pertimbangan Tes Lab: dapat menyebabkan perpanjangan masa perdarahan, yang dapat menetap setelah penghentian terapi.
Diagnosis Keperawatan Potensial
·         Nyeri ( indikasi).
·         Gangguan mobilitas fisik (indikasi).
·         Kurang pengetahuan sehubungan dengan program pengobatan (penyuluhan pasien / keluarga).
Implementasi
·         Informasi umum : pemberian bersama analgetik opioid akan menghasilkan efek analgetik yang lebih besar dan memungkinkan penurunan dosis opioid.
·         PO: untuk efek awal yang cepat, berikan 30 menit sebelum atau 2 jam setelah makan. Dapat diberikan bersama makanan, susu, atau antacid untuk mengurangi iritasi GI. Makanan akan memperlambat namun tidak mengurangi absorpsi.
·         Dismenorea: berikan segera mungkin setelah awitan menstruasi. Terapi profilaksis tidak terbukti efektif.
Penyuluhan Pasien/Keluarga
·         Anjurkan pasien untuk meminum obat ini dengan segelas air dan tetap dalam posisi tegak selama 15-30 menit setelah pemberian.
·         Obat ini terkadang dapat menyebabkan mengantuk atau pusing. Anjurkan pasien untuk tidak mengemudi kendaraan atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang membutuhkan kewaspadaan sampai respons terhadap obat diketahui.
·         Peringatkan pasien untuk menghindari penggunaan bersama alkohol, aspirin, ibuprofen, asetaminofen, atau obat bebas lainnya tanpa berkonsultasi dengan dokter atau apoteker.
·         Anjurkan pasien untuk memberitahu dokter atau dokter gigi mengenai program pengobatan sebelum dilakukan tindakan atau pembedahan.
Evaluasi
Efektivitas terapi ditunjukan dengan : Perbaikan mobilitas sendi, penurunan keparahan nyeri. penurunan demam. Pasien yang tidak berespons terhadap salah satu agens antiinflamasi nonsteroid masih dapat berespons terhadap agens antiinflamasi nonsteroid lainnya.
Analgetik Nonopioid / Agens Antiinflamasi Nonsteroid yang terdapat dalam Pedoman Obat untuk Perawat:
Agens antiinflamasi nonsteroid                    analgetic nonopioid               salisilat
1.      Aspirin                                                      1. Asetaminofen                      1. aspirin
2.      Kolin salisilat                                            2. Etodolak                             2. Magnesium salisilat
3.      Fenoprofen                                                3. Fenoprofen                          3. salsalat
4.      Ibuprofen                                                  4. Ibuprofen
5.      Nabumeton                                               5. Ketoprofen
6.      Salsalat                                                      6. Ketorelak
7.      Ketoprofen                                                7. Meklofenamat
8.      Meklofenamat                                           8. Metotrimeprazin
9.      Indometasin                                              9. Naproksen
10.  Tolmetin                                                    10. Fenazopiridin


Referensi:
·         Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta:Universitas Indonesia
·         Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman Obat untuk Perawat Edisi 4. Jakarta: EGC
·         Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi dasar dan klinik Edisi VI. Jakarta: EGC

Readmore »»

FARMAKOLOGI UMUM 


Farmakologi adalah ilmu tentang obat., termasuk mekanisme kerja dan efeknya pada system kehidupan. Sedangkan obat sendiri dalam bahasa Yunani artinya “racun”.
Menurut World Health Organization (WHO), obat adalah suatu senyawa atau produk yang digunakan untuk memodifikasi atau menjelajahi system fisiologis atau patologis guna kepentingan resipien.
Dalam pengertian umum, obat adalah suatu substansi yang melalui efek kimianya membawa perubahan dalam fungsi biologic. Pada umumnya, molekul obat berinteraksi dengan molekul khusus dalam system biologic, yang berperan sebagai pengatur, disebut molekul reseptor.
Obat dapat disintesa dalam tubuh, misalnya: hormon. Atau juga dapat sebagai zat kimia yang datang dari luar (xenobiotik).
Untuk berinteraksi secara kimia dengan reseptornya, molekul obat harus mempunyai ukuran, muatan listrik, bentuk dan komposisi atom yang sesuai.

Sifat Fisik Obat
Obat-obat dapat berupa benda padat pada temperature kamar (misalnya: aspirin dan atropine), cair (misal: nikotin dan etanol), atau bentuk gas (misal: nitrogen oksid).

Asal Obat
Obat didapatkan dari berbagai sumber:
  1. Mikroorganisme , misalnya: antibiotic berasal dari jamur, dan human insulin berasal dari rekayasa genetika.
  2. Tanaman, misalnya: Atropa belladonna (atropine), Cannabis sativa (ganja), Castanospernum austral (castanospermine),dll.
  3. Manusia dan hewan, misalnya: adrenalin, human chorionic gonadotropin (HCG) dan erythropoietin. Kadang-kadang dibuat dengan teknik rekombinan.
  4. Mineral atau produk mineral, misalnya: zat besi, iodine dan Epsom salt.
  5. Sintesa di laboratorium, misalnya: sulphonamid, β-blocker dan antidepresan.
  6. Semi sintetik, apabila awalnya dari bahan alami berupa steroid tanaman atau metabolit mikroba yang kemudian diubah secara kimiawi menghasilkan molekul obat.

Karakteristik Obat
Obat yang berguna adalah yang memiliki sifat-sifat penting lainnya, seperti: potensi, selektivitas dan spesifisitas.
Potensi adalah senyawa kimia yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek. Semakin poten suatu obat, semakin rendah dosis yang diperlukan untuk menimbulkan efek tertentu.
Selektivitas adalah rentang efek obat pada reseptor tertentu, proses selular atau jaringan. Misal: fluoxetine (prozac) memiliki efek samping lebih sedikit dari pada antidepresan yang lebih tua karena lebih selektif dalam menghambat transport neutransmitter serotonin ke dalam sel.
Spesifisitas adalah hubungan antara struktur kimia obat dengan efek farmakologisnya. Spesifisitas dapat digunakan secara longgar.

Ukuran Obat
Ukuran molecular obat-obat yang biasa digunakan bervariasi dari sangat kecil (ion litium, BM 7) sampai sangat besar (misalnya: alteplase [t-PA], suatu protein dengan BM 59.050). Umumnya, obat-obat tersebut mempunyai berat molekul antara 100 dan 1000. Obat-obat yang lebih besar dari BM 1000 tidak mudah berdifusi antara kompartemen tubuh. Obat yang sangat besar biasanya protein, mesti diberikan langsung ke dalam kompartemen tempat efek obat.

Reaktivitas Obat dan Ikatan Reseptor Obat
Obat berinteraksi dengan reseptor berdasarkan kekuatan atau ikatan kimia. Ada tiga tipe utama dari ikatan ini, yaitu: kovalen, elektrostatik, dan hidrofobik.
Ikatan kovalen, sangat kuat dan umumnya tidak reversible dalam kondisi biologic biasa. Jadi, ikatan kovalen yang terbentuk antara bentuk aktif fenoksibenzamin dan reseptor alfa untuk norepinefrin tidak mudah dilepaskan (yang mengakibatkan penghambatan reseptor). Efek penghambat dari fenoksibenzamin berlangsung lama sesudah obat bebas hilang dari aliran darah dan baru pulih kembali setelah sintesis reseptor alfa yang baru, suatu proses yang membutuhkan waktu kira-kira 48 jam.
Ikatan elektrostatik lebih umum dibandingkan dengan ikatan kovalen. Ikatan elektrostatik bervariasi daari ikatan yang kuat antara molekul ion yang bermuatan tetap sampai ikatan sangat lemah yang diperoleh dari interaksi dipole antara kekuatan van der walls dan fenomena yang serupa. Ikatan elektostatik lebih lemah dari pada ikatan kovalen.
Ikatan hidrofobik, biasanya sangat lemah dan mungkin penting dalam interaksi antara obat mudah larut lipid dengan lipid dari membrane sel dan mungkin juga dalam interaksi obat dengan dinding dalam dari “kantong-kantong” reseptor.
Obat yang terikat lemah pada reseptornya umumnya lebih selektif daripada obat yang terikat sangat kuat. Hal ini disebabkan ikatan lemah tersebut memerlukan kecocokan yang pas (precise fit) antara obat dan reseptornya bila interaksi terjadi. Hanya beberapa tipe reseptor saja yang mempunyai sifat kecocokan pas tersebut dengan suatu stuktur obat tertentu.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON OBAT
  1. Faktor Farmakokinetik
Faktor Farmakokinetik adalah factor yang mempengaruhi bagaimana tubuh memperlakukan obat, yaitu bagaimana obat diabsorpsi dari tempat pemberiannya, distribusi di seluruh tubuh melalui aliran darah, dan eliminasi melalui metabolism dan ekskresi.
Respon terhadap obat dipengaruhi oleh:
1.      Komposisi tubuh (proporsi lemak)
2.      Merokok (dapat merubah clearance obat dari tubuh)
3.      Usia dan jenis kelamin ( dapat mempengaruhi jantung, fungsi hati dan ginjal)
4.      Kehamilan (mengubah distribusi)
5.      Factor ginetik (enzim)
6.      Penyakit hati dan penyakit ginjal (mempengaruhi metabolism dan ekskresi obat, berpotensi menyebabkan akumulasi dan toksisitas)
7.      Hipermotilitas GIT (obat keluar sebelum sempat diabsorpsi)
  1. Faktor Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah apa yang dilakukan obat terhaadap tubuh, meliputi kerja obat dan efeknya, efek terapetik dan efek samping, mekanisme kerja obat ditingkat seluler.
Walaupun mekanisme kerja obat sama pada setiap orang, kecuali bila jumlah atau jenis reseptor berbeda, tetap ada factor yang mempengaruhi respons obat. Misalnya, takifilaksis dan desensitisasi ( penurunan efek obat dengan cepat) dan toleransi ( penurunan respons dengan perlahan-lahan, misalnya pada pasien ketergantungan opioid).
  1. Faktor Individual dan Klinis
Penentu utama dari respons obat adalah apakah seorang pasien minum obat itu. Kepatuhan berati mengikuti semua aspek dari rencana keperawatan. Daalam konteks terapi obat itu berarti mengikuti petunjuk dokter. Semua saran lain yang diberikan yang berhubungan dengan terapi juga harus diikuti, termasuk aspek gaya hidup seperti, mengurangi berat badan, berhenti merokok, dan minum alcohol.
Salah satu cara untuk menilai kepatuhan pasien adalah dengan menghitung sisa obat setelah jangka waktu tertentu, dan tes (pengukuran) kadar obat dalam daarah.
  1. Interaksi Obat
Hal lain yang dapat mempengaruhi hasil terapi, selain kepatuhan pasien adalah interaksi dengan obat lain, obat bebas non resep, makanan dan minuman.
Interaksi obat dapat mempengaruhi farmakokinetik obat yang terlibat (misalnya monoamine oksidase inhibitor menghambat metabolism obat lain) atau farmakodinamik (misalnya antihistamin dan alcohol memiliki efek depresan ssp aditif).
  1. Polifarmasi
Polifarmasi adalah penggunaan beberapa obat bersamaan. Polifarmasi adalah situasi dimana terjadi interaksi obat yang berpotensi membahayakan pasien.
Usaha untuk mencegah polifarmasi:
1.      Menghindari penulisan resep atau memberikan obat untuk keluhan ringan.
2.      Mencermati dosis obat, sediaan yang sesuai, ADR dan interaksi obat serta kepatuhan pasien.
3.      Pendekatan non-farmakologis : perubahan gaya hidup
4.      Komunikasi dengan pasien, tentang perasaannya, harapan dan kesulitan dengan kepatuhan, dan dengan anggota keluarga yang terkait.
5.      Penyederhanaan: mengurangi frekuensi obat, menggunakan dosis efektif terendah, membatasi obat yang tak perlu.
  1. Efek Plasebo  
Placebo, secara farmakologi berarti pemberian senyawa yang tidak aktif dan tidak berbahaya untuk memuaskan pasien yang tidak memerlukan obat aktif. Senyawa ini digunakan sebagai perundingan dengan senyawa aktif.
Pasien yang diberi placebo dapat juga timbul respons, tetapi biasanya hanya sementara saja. Hal ini karena factor psokologis, yaitu timbulnya harapan pada diri pasien tersebut. 

Referensi:
·         Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi dasar dan klinik Edisi VI. Jakarta: EGC
·         Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma. 2010. Farmakologi Umum. Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma

Readmore »»